Pinterest.com
Bertemu Mas Banyu bukanlah sebuah hal yang kuinginkan. Memang benar, kami hanya sekilas pernah saling mengenal dari sepupuku yang sekarang sedang melakukan sesi foto di acara pernikahannya. Aku awalnya linglung karena tidak mengenali sosok Mas Banyu dengan kemeja batik, berkacamata photocromic, dan kamera menggantung di lehernya. Ia tersenyum cukup manis untuk ukuran laki-laki yang sedang menarik ujung dressku pelan sambil bilang, "Hai, Gresia."

Tentu saja responku melongo.
"Masih kenal saya?" Tanyanya lagi.
"Saya Banyu, mantan pacar sepupu cantikmu itu," lanjutnya karena menyadari aku yang tidak mengingatnya dengan jelas.

Saat itu ekspresiku mungkin tambah tak terkendali. Rahangku berasa mau jatuh, pasalnya Mas Banyu ini mantan pacar sepupuku yang putus sekitar tiga bulan lalu dan sekarang duduk tenang dengan tangan yang masih bertengger di dressku.

"Ya Ampun, Mas Banyu?"

Tak bisa dipungkiri, rasanya gugup setengah mati. Bingung mau respon bagaimana. Tidak mungkin kan aku melotot sambil bilang kok bisa Mas Banyu diundang di sini? Nggakpapa emang? Atau lebih parahnya aku langsung bertanya, Mas Banyu nggak punya rencana nyumbang lagu patah hati kan? Are you okay?

Untung semua itu masih tersimpan di kepala. Sampai aku duduk terpaksa di sampingnya yang mengerling jahil setelah menilik respon canggungku.

"Gresia apa kabar?"

"Seharunya aku yang nanya gitu ke Mas Banyu loh," jawabku mencicit.

Mas Banyu terkekeh ringan, "Malah gitu jawabnya seperti saya nggak baik-baik aja."

"Ya kan gitu," jawabku sambil membuat pola dengan tangan membentuk hati yang patah.

"Saya baik, sebaik ini," jawabnya simple.

Sebelum aku mau memprotes jawabannya, Mas Banyu beranjak menuju pengantin yang mau mengadakan sesi foto bersama teman-temannya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kaku ketika dia bilang, "Bentar, ya."
***
Ternyata Mas Banyu mengekoriku sampai ke rumah yang hanya berjarak 10 smeter dari acara resepsi. Aku merasa ini aneh, kami tidak dekat. Kami hanya baru bertemu berapa kali ya? Mungkin tiga kali? Dengan status dia dulu masih pacar sepupuku.

"Saya dengar kamu enak diajak ngobrol, tadi Ibu juga sudah nyuruh saya mampir ke rumahmu karena beliau tahu kita kenal," jelasnya tanpa kuminta.

Ibu yang dia maksud ya tentu saja ibu sepupuku, kan mereka sudah dekat karena pacaran hampir satu tahun lebih.

"Temen-temenmu mana Mas?"

"Masih di acara, sekalian reuni. Saya suntuk di sana kalau digodain terus. Serasa saya ngenes."

Aku hanya nyengir lebar.
Mas Banyu bersandar di sofa dengan mata tertutup. Mungkin lelah. Atau batinnya yang lelah?

"Mas Banyu baik-baik aja? Atau ke sini mau numpang nangis karena ditinggal nikah?" Semprotku kasar.

"Kok kamu nggak menghibur saya?"

"Mas Banyu beneran gagal move on yah?"

Dia ketawa keras, sampai melirih dan tersenyum masam.

"Sebenarnya lumayan nggak kuat saya," akunya.

"Dan Mas Banyu masih sok bersikap keren sambil nenteng kamera di leher buat foto bareng teman lainnya?" Semburku lagi.

"Yah pengalihan saja. Sebenarnya ini kamera biar bisa membagi fokus saya dari sepupu cantikmu itu." Tangannya mengambil kamera di lehernya dan meletakkan di meja.

"Apa saya terlihat baik-baik saja?" Mas Banyu bertanya dengan suara yang terlihat ragu.

"Kalau orang lain bakal ngira Mas Banyu udah move on loh, tadi di acara juga nyengir sambil tebar pesona ke cewek-cewek."

"Menurutmu gitu?" Desaknya.

"Kalau menurutku ya enggak dong, lihat Mas Banyu lemah gini udah membuktikan semuanya," jawabku diiringi tawa kencang.

"Ups. Sorry," ungkapku menyadari tidak ada tawa yang keluar dari mulutnya. Ah seharusnya aku tidak bersikap begini, kamu terlalu asing.


"Sebenarnya saya merasa lega. Sepupu cantikmu mendapatkan pria yang sudah mapan dan tentunya lebih baik dari saya. Entah dari segi agama, dan sikapnya. Saya rasa, keputusan tiga bulan lalu adalah keputusan paling tepat meski saya harus terluka kan?"

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Tapi kok, nggak langsung bisa rela ya? Tetap masih ada sedih-sedihnya. Ada aja hal yang ngingetin saya pas lagi bahagia ataupun sedih bareng sepupu cantikmu itu. Haha, manusiawi kan ya?"

Sekali lagi aku mengangguk sambil menebak-nebak berapa kali ia menyebut sepupuku cantik? Yang tentu saja beneran cantik pakai bangeeeet.

"Saya syok waktu dapat undangan, saat itu saya baru pulang dari Batam ngurus kerjaan. Tiba di rumah udah disodorin namanya yang dicetak bareng lelaki lain."

"Nangis nggak Mas?"

"Nggak, atau mungkin belum?" Tanyanya lirih.

"Nangis aja," guyonku nyengir lagi.

Suasana mendadak menjadi suram. Kek berasa ada pedih-pedihnya gitu. Padahal dari sini masih terdengar lumayan riuh lagu-lagu dari sound system yang disewa di acara nikahan sepupuku.

"Nggaklah. Sudah berlalu juga kan?"

"Trus Mas Banyu ngapain masih ada di sini?" Sungutku kesal.

"Loh kok sikapmu sama tamu gitu? Nggak sopan," jelasnya singkat.

"Kan aku nggak akrab, kalau Mas Banyu mau minta hiburan aku juga nggak bisa ngehibur tahu."

Mas Banyu terkekeh, "Saya di sini nggak minta dihibur loh, Gres. Saya cuma numpang aja nih capek," ucapnya. Ia merenggangkan tangannya dramatis seolah-olah baru saja kerja berat.

Aku hanya menatapnya malas, rasanya sudah cukup buat mendengarkan kisah patah hati orang lain. Untuk hari ini saja. Sebab terkadang cerita-cerita itu menimbulkan aura negatif yang kuserap tanpa bisa melawan. Ah sepertinya memang perlu liburan biar bisa merefresh sagalanya.

"Saya nggak nyangka bisa sampai di nikahan sepupu cantikmu dengan tenang seperti tadi. Cuma sekarang aja saya mendadak jadi lemah tak berdaya, ngenes banget kan jadi saya?"

"Pol," tuturku menyetujui ucapannya.

"Saya harus gimana ya Gres?"

"Ya nggak gimana-gimana," jawabku spontan.

Mas Banyu berdecak kesal, "Katanya kamu enak diajak ngobrol, ini sama saya kok jadi pahit gini sih.

"Salah sendiri."

Moodku langsung kacau. Kenapa sih Mas Banyu harus repot nyari solusi di aku yang nggak bakal bisa ngasih dengan bijak? Heran, tambah bikin capek saja.

"Ya gimana dong Gres?"

"Ya nggak gimana-gimana. Nikmatin aja sakitnya, asal nggak keterusan. Ntar juga bakal terbiasa, rela, lupa. Fokusin aja kalian emang dah takdirnya nggak bersama, gitu."

"Yah kalau dah jawab takdir sudah selesai. Langsung titik tanpa koma."

"Mas Banyu memangnya mau saran apa? Aku lagi nggak punya selera buat dengerin sakit hatimu loh Mas," jelasku kesal.

"Apa aja Gres. Apa aja."

"Yaudah, mending sekarang tidur aja di sofa. Nanti bangun-bangun pasti dah lumayan segar," kataku sambil menyodorkan bantal sofa yang langsung diterima tangannya.

Kupikir bakal menolak, ternyata Mas Banyu memosisikamnrebahannya dengan benar dan mulai tertidur.

Beuh, tidak cuma hati dan pikirannya yang terkuras habis tuh. Sudah seluruh jiwa raga!

***
Apakah ada percakapan lainnya setelah Mas Banyu bangun? Ada, tentu saja didominasi kisah percintaannya mulai dari awal hingga putus dan ditinggal menikah oleh sepupuku yang cantik itu.

Aku memberikan solusi? Tentu saja tidak. Aku hanya menyediakan kedua telinga dan bahu untuk Mas Banyu menumpahkan segalanya. Sejenak, ya untuk sesaat sampai ia merasa ada dan tidak ditinggalkan.

Hingga ia pamit pulang, aku berdiam mematung sambil berpikir keras. Kenapa ya setelah berpisah ada orang yang langsung bisa baik-baik saja dan memulai hal baru?

Kenapa Mas Banyu tidak?
Kenapa sebagian orang lain juga tidak?

Kenapa aku juga tidak?
Kenapa justru aku tidak membaik?
Kenapa justru aku merasa tidak layak?

Kenapa?

Kenapa manusia semakin terluka dengan sendirinya?