'Namun kau menahanku, bukan dengan tangan atau tubuhmu.'
...
Di luar sedang hujan. Gemericik yang deras sedang beradu canda.
Penaku masih menari. Kemudian membeku saat kau tiba-tiba duduk di sampingku. Tanpa rasa canggung atau kaku, kau diam saja memerhatikan gerikku yang lama kelamaan tak berkutik lagi.
Kuberanikan diri menatapmu, kau malah tersenyum sambil balas mengunci dengan mata elang yang teduh itu. Hampir saja aku kalah jika tak kuputuskan mengalihkan pandang.
"Kenapa melihatku begitu?" tanyaku setelah susah payah meredam degup.
"Apa kamu demam? Pipimu merah begitu," ucapmu sambil terkekeh puas.
Ya Tuhan, betapa aku ingin menghilang atau menyembunyikan muka. Aku malu!
"Nggak! Jangan menatap orang seperti itu. Nggak sopan!"
"Aku hanya cemas. Takut jika kau demam."
"Dasar pembual."
Kau tergelak, seakan segala yang kukatakan adalah lelucon. Aku semakin cemberut. Enak saja kau jadikan aku bahan tertawaan macam bayi.
Maka sesegera mungkin aku beranjak, hendak pergi meninggalkan kursi di samping jendela kaca ini. Namun kau menahanku, bukan dengan tangan atau tubuhmu. Melainkan dengan sebuah kalimat tanya, "Apa kau tidak merindukanku sama sekali?"
Aku membatu. Bagaimana mungkin aku tidak rindu? Bukankah aku pernah berkata bahwa yang kupandang di setiap hujan adalah dirimu. Serta nama yang kuhela tiap rintik ialah namamu. Bagaimana mungkin aku tidak rindu? Mengapa kau bisa setega itu membiarkan aku menanggung seorang diri, selama ini. Bagaimana mungkin aku tidak rindu? Ketika hadirmu tak pernah lagi seperti yang lalu. Kau pikir aku karang keras yang tak punya rasa? Bagaimana mungkin aku tidak rindu?
"Kau menangis?" tanyamu ketika menyadari tak ada jawaban atas pertanyaanmu, melainkan titik-titik air yang jatuh dari pelupuk. Aku diam saja, memejamkan mata, sambil sesekali terisak.
Kau menghela napas. Kemudian lirih berkata, "Maafkan aku. Asal kamu tahu, aku juga sangat merindukanmu."
Mendengarnya, kubuka mataku perlahan. Namun di sampingku tiada sesiapa. Aku duduk sendiri, bersama cangkir kopi yang telah kosong dan air mata yang tak lagi tertahan.
Di luar masih hujan, justru semakin lebat. Sepersekian detik kemudian, aku menyadari. Bahwa nyatanya, yang baru saja terjadi hanyalah sebuah percakapan angan-angan.
Surabaya, 14 November 2017
2 Komentar
Loovveeeee
BalasHapus💕💕💕
Hapus