Jujur, sebenarnya aku sudah jarang menulis. Yah, dalam artian menulis di kertas atau mengetik di laptop sambil membuat imajinasi kecil yang kemudian dibesar-besarkan biar jadi sumber inspirasi. Mungkin selama dua tahun ini, pencapaianku hanya menulis skripsi. Tulisan yang beberapa diantaranya mengutip dari jurnal, menuliskan dari hasil penelitian, atau ternyata hanya mengambil fungsi ATM (amati tiru dan modifikasi). Kabar baiknya, dosen pembimbingku sangat percaya dengan kemampuan yang tidak begitu besar dalam diriku. Bahkan kami hanya bimbingan sekitar 4 kali sampai pendaftaran sidang. Wah, luar biasa memang, walaupun nyatanya aku kalah diserang diri sendiri. Molor satu semester karena malas, hehe. 

Selain itu, tidak ada. Atau mungkin belum. Karena rasanya sudah lama sekali tidak memulai apapun. Aku hanya melakukan rutinitas yang kadang membosankan. Sibuk bekerja dan tidur. Aku jarang bersosialisasi karena terbatas waktu, dan terbatas kepercayaan diri. Melihat pencapaian teman-teman sepantaran sudah lumayan bagus, sedang aku begini-begini saja. Sering merasa tertinggal, kemudian menangis diam-diam. Mungkin yang paling sering mendengar tangisanku ya boneka anak ayam yang paling lucu di sepetak kamar kos usang. 

Lalu aku jatuh cinta, tidak menggebu-gebu. Biasa saja, aku melewati masa mencintainya karena merasa sudah waktunya. Menghindari kesepian, dan saling mengasihi. Rasanya lumayan menguras tenaga dan batin. Aku kadang bertanya-tanya apakah benar cara kami jatuh cinta? Apakah benar aku memaklumi segala hal tentang dia? Apakah aku sanggup mencintainya lagi di tahun yang akan berganti?
 
Nyatanya sanggup, aku melewati satu tahun dengan dia. Wah, luar biasa. Setelah menyakiti (lebih tepatnya menolak beberapa orang) aku memutuskan berjalan dengannya dengan ketakutan-ketakutan yang seringkali menyusup tanpa aba-aba. Bukankah itu wajar? Kami saling mencintai, pada akhirnya juga berpotensi saling menyakiti kan? Hanya bentuk jumlahnya yang bisa kita minimalisir. 

Pernah suatu hari, dia ingin menyerah. Aku menangisnya, perasaan kacauku melihat beberapa hal yang kita lewati, lalu pikiran buruk menyerang lagi, "Kalau nggak sama dia, aku nanti diterima siapa?"

Itu hanya fase awal, karena setelahnya aku merasa biasa saja. Entah dia akan mengancam meninggalkanku, aku akan menerima segala konsekuensinya. Aku sudah bertumbuh sedemikian rupa, membayangkan dia menikah lebih dahulu pun aku pasti nanti akan rela. Entah pada hari atau bulan ke berapa nantinya menuju aku yang baik-baik saja. 

Aku sudah belajar memahaminya, memberi feedback dari hubungan yang berjalan begitu lambat. Dengan kesabaran dan perasaan mengalahku yang sering maju pertama dalam mengerti segala hal tentangnya. Apa dia mencintaiku? 

Ya. Tentu saja. 

Cinta yang ia pupuk dengan biasa-biasa saja, cinta yang ia rawat sebisanya, dan cinta yang ia usahakan semampunya. 

Apa aku menerima itu? 

Ya, memang begitu adanya. Menjadi biasa-biasa saja kalau disyukuri ternyata lumayan menyenangkan. Aku tidak perlu berharap lebih, tidak lagi ugal-ugalan meminta ini itu, dan tidak lagi merasa paling menderita sejagat raya. Karena memang biasa saja. 
Memangnya apa lagi yang perlu dikejar kalau bisanya kita jalan pelan-pelan? Hanya perlu menikmatinya dan tetap konsisten kan? Meskipun ada kalanya kita tersengal hanya karena hal-hal kecil. Ngos-ngosan berjalan lebih cepat dari biasanya, atau kadang juga capek, mau berhenti lebih cepat, mau menyerah, tapi yang dilakukan yang kembali menjalani seperti biasanya. 

Seperti itulah, aku bertahan. 
Dengan dia, atau dengan kamar kos-kosan yang menyaksikan mataku basah saban malam. Meratapi nasib, dan kebutuhan yang semakin menggerus untuk terus diperhatikan. 

Aku tidak menyerah, karena sudah biasa saja.