Pada Hati yang Rentan Kematian
Saya duduk ketika bulan menggantung jauh dari pelupuk mata
dipandang lumayan kuning tapi tak menyala-nyala
kecuali gelap menyelinap
Di malam yang lindap, angin sedikit berbisik
saya lumayan terusik
dari sepoi membangunkan sepi
dari bayang menimbulkan kenang
Saya mendengar suara yang
barangkali tidak didengar orang-orang
seperti kemustahilan muncul sewaktu-waktu
membaca saya tiada ragu-ragu
"Pada hati yang rentan kematian,
Kau demam, kataku
Aku menemukanmu termangu
merapal ritus, mengeja doa
di luar perhitungan napas putus-putus
Aku dengar, hatimu ingin mengamuk
tapi lilin-lilin mengabari sejatinya kau telah remuk."
Kemudian kegelisahan timbullah
ia tak mau berpisah
sedang cabang-cabang nurani meresah
"Pada hati yang rentan kematian
Kau mengadu
seorang anak berlari membawa kitab
di dalamnya obat-obat mujarab
pernah ia jadi tubuhmu yang kerdil
namun hatimu begitu adil
Menghamba Tuhan
sejak Zaman tidak melihatmu sebab
kau dan sengsara saling menyahut untuk hidup."
Ada gemuruh
agaknya sesuatu terjatuh
suara-suara kembali merengkuh
tak henti-hentinya melihat saya menyeluruh
"Pada hati yang rentan kematian
Kauinginkan kepala merebah
di pangkuan
dan pengakuan
Kau gelar pengharapan
dan pertanyaan
manusia dewasa yang pernah melupa
; Tuhan, di mana?
Kau telungkup
mata memindai meski redup
nyawa perih di sela zikir merintih."
Sementara saya mengingat,
dada merajuk selamat
"Sudah lama kau alpa
Lihatlah tangismu merayu
; Tuhan, saya merindu."
#Risscoklat
Temanggung, 07 Oktober 2020
0 Komentar