Lelaki yang Mencintai Hujan

Malam ini saya kembali duduk di Kedai Kaisar, dekat dengan perempatan Jalan Baru Salatiga setelah melewati aktivitas panjang. Di sini, selain menikmati merehatkan pikiran saya menatap banyak orang yang menghabiskan malam minggunya. Di meja nomor sembilan belas, sepasang kekasih tengah berdebat kecil. Saya pikir mereka meributkan makanan apa yang harus dipesan, atau bisa jadi lelaki bertubuh sedikiti berisi itu sedang memberi wejangan kepada kekasihnya agar tidak memesan makanan pedas. Ah betapa perhatiannya ia.


Mata liar saya menatap sekumpulan orang-orang dewasa. Mereka terlihat mendiskusikan banyak hal, saya menatapnya sambil menyelami tiap-tiap ekspresi. Ada sebagian yang tegang, sedang bagian lain lebih tegang dari yang lainnya. Di sini paham? Mungkin iya, karena mereka boleh jadi sedang meributkan tentang politik, pembahasan rapat kerja, atau mengenai sepakbola kesayangannya yang menjadikan malam minggu lebih hangat daripada berkencan dengan para kekasihnya. Atau sebenarnya mereka sekumpulan mahasiswa yang tidak memiliki kekasih? Seperti saya ini misalnya.


Tapi, saya harusnya mencintai kesepian ini melebihi apapun. Saya bisa mencumbunya di saat-saat lelah. Kadang, saya bercerita kepada kesepian itu sendiri. Berkeluh kesah, sampai-sampai kesepian terasa begitu dekat dengan saya. Sepi adalah bagian yang tak bisa dipisahkan. Ia selalu ada, di sudut hati milik orang yang terlihat paling bahagia pun di hati yang jauh dari Illahi.


Saya makin melantur sepertinya.

"Sudah lama menunggu?"


Tiba-tiba, suara seorang lelaki memasuki telinga. Saya menoleh menatapnya lembut, mengamati jaket merah yang ia pakai malam ini. Tas slempang kecil yang ia bawa, sampai mendapati matanya sedang memeperhatikan saya lebih intens. Senyumnya mengembang, menghilangkan kesan galak dari wajah yang lebih sering terlihat menakutkan karena tatanan rambutnya yang agak gondrong.


Di hati paling menggelikan milik saya, kadang ada keinginan paling menggelitik yakni menyusuri rambut ikalnya. Dan berharap menemukan pikiran-pikirannya yang mencuat di atas kepalanya. Lalu membedahnya, memahami sampai ke inti-inti, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering timbul di benak saya.


"Sudah dingin," kata saya sambil memajukan dagu sebagai isyarat menunjuk kopi di samping segelas cokelat panas yang sekarang ikutan mendingin.


Tapi dia tetap tersenyum hangat, begitu hangat. Sampai saya meleleh dibuatnya karena untuk malam ini cokelat manis kalah telak dengan lengkungan bibirnya. 


Kami masih diam, saya tidak berniat membuka percakapan. Karena beginilah hal paling terbiasa yang telah berbulan-bulan dilakukan, saya masih gagap untuk sekadar berbicara menceritakan betapa penatnya minggu ini. Saya lelah, saya butuh dikuatkan. Tapi karena saya selalu merasa sialan seperti ini dengan mulut yang susah merapalkan kata-kata membuat saya semakin bungkam. Tiada yang keluar untuk disampaikan, sebab otak dan mulut tidak pernah mampu berjalan secara sinkron.


"Kau melewari hari yang panjang?"


"Ya."


Cukup. Satu kata.


Padahal saya ingin mengadu. Misalnya dengan kata-kata begini, Ya, aku melewati hari panjang. Minggu ini banyak deadline menumpuk. Selain tugas dari kampus, menjadi editor dan design untuk penerbit pun melelahkan. Tapi kau selali bilang aku keren kalau sedang serius mengerjakan segala tugas kan? Maka aku ingin keren di matamu. Jadi aku baik-baik saja. Meski sebenarnya ingin mengeluh, Ya Gusti betapa lelahnya aku hari ini!


Tapi saya hanya diam, mengambil segelas cokelat yang mendingin karena terlalu sabar menunggunya kemari. Entah untuk niatan apa, saya tidak begitu peduli. Yang terpenting, malam minggu kali ini saya ditemani seorang yang mampu membuat berdebar tak karuan menghilangkan segala penat, segala keruwetan yang acap kali membodohi saya sampai lebih dari gagap. Saya sering bertanya-tanya, apakah kesepian yang telah saya bangun selama bertahun-tahun mampu luluh lantak tanpa sisa hanya karena seorang pria yang hatinya tidak pernah sehangat senyumnya?


Bagi saya, dia masih beku. Dalam dadanya menyimpan segala misteri yang tidak bisa diterka begitu saja. Meski kadang-kadang saya terlalu berlebihan mengkhawatirkan pria dewasa yang sedang menikmati kopi hitam miliknya.


"Ada apa?" Dia menoleh sewaktu menyadari saya sedang menatapnya dari samping.


"Kau lebam lagi? Siapa yang memukulimu? Sakit? Kau tidak apa-apa? Kenapa tidak di rumah saja kalau kau merasa tidak baik-baik saja? Saya tidak perlu kau temani." 


Hening sepersekian detik. 


Suara tawanya kemudian muncul sembari ia mentap saya lebih dalam. Dia tersenyum lagi, "Kau mengkhawatirkan saya?"


Ya. Setiap waktu.


Tapi saya menggeleng dan mendengus kesal. 


"Ini kalimat terpanjang yang kau katakan sejak kita bertemu di hujan bulan Januari lalu," katanya dengan kekehan pelan.


Mendadak wajah saya panas, barangkalai kalau lampu kedai ini menyala lebih terang maka terlihatlah seberapa meronanya pipi saya. 


"Saya baik-baik saja."


Tangannya bergerak mengusap kepala saya. Pelan tapi mendebarkan. Kalau begini, rasa-rasanya akan mengkhianati kesepian yang telah dinobatkan sebagai kekasih paling setia milik saya. 


***


Awal kami bertemu adalah di kedai yang sama. Saya duduk sendirian ditemani laptop, lemontea, cokelat panas, dan sepiring kentang goreng yang hampir tandas. Udara di sekitar semakin dingin, beberapa orang terkesan saling menghangatkan dengan kekasihnya. Kecuali saya yang ditemani kesepian paling abadi.


Dia datang, dengan tubuh basah, pipi lebam dan rambut ikalnya menutupi sebagian matanya. Orang-orang meliriknya risih. Sedang di luar gerimis semakin deras tak bisa dicegah. 


Dingin.


Saya menawari cokelat panas untuknya yang memilih duduk di hadapan saya. 

"Belum saya minum, " kata saya terbata-bata.


Lelaki itu menatap saya datar, tapi saya tak gentar. Saya hanya perlu menyodorkan cokelat panas tanpa perlu berkata-kata. 


Kami masih diam, saya tidak berniat berbicara dengan orang asing. Karena itu sama saja semakin menyulitkan diri sendiri. Tetapi karena lelaki itu menatap saya terus menerus, maka dengan berat hati saya bersuara, "Butuh saya pesankan makanan?"


Dia menggeleng. Bibir pucatnya tersenyum samar, "Terimakasih."


***


Minggu berikutnya, dia datang lagi seolah mencari keberadaan saya. Kebetulan saya tidak pernah berpindah tempat. Dia sudah datang terlebih dahulu dan melambaikan tangan ke arah saya.


"Saya Bayu," katanya dengan senyum lebih ramah. Rambut ikalnya sudah tidak mengusik wajahnya karena telah ia ikat ke belakang. Dia mengenakan kaos hitam polos, sedangkan jaket abu-abunya ia sampirkan di kursi.


"Saya sudah memesankan cokelat panas, mengganti minggu lalu."


Saya cukup mengangguk singkat. Ini seperti bukan saya yang biasanya. Saya seharusnya tidak memilih duduk di sampingnya seperti yang dia minta. Saya juga tak perlu repot-repot mendengarnya bercerita dan sebagai permintaan maaf karena telah mengejutkan di minggu kemarin.


"Saya waktu itu sedang ada sedikit masalah dengan bapak dan kakak lelaki. Kami bertengkar masalah keluarga, dipukul kakak tertua saya dan disumpah serapah oleh bapak."


Saya menatapnya tanpa minat. Untuk apa dia bercerita kepada saya? Semuanya sama sekali tidak penting. Kami asing, bukan? Hanya saja, dia sedikit beruntung datang kepada manusia macam saya yang pendiam dan lebih mendengarkan dia berbicara panjang lebar.


"Kau pasti bertanya-tanya kan kenapa saya basah padahal hanya terkena gerimis?" Wajahnya terlihat berseri-seri.


"Meski disakiti keluarga saya dengan pemaksaan untuk menjadi seperti apa di masa depan, atau dipukuli sampai habis nyawa saya itu tidaklah apa-apa asal masih ada hujan yang mengguyur sekujur badan. Saya bisa menyanyi, menari seperti anak kecil, dan merasa dicintai oleh air-air yang jatuh di tubuh saya. Semua terasa menyenangkan."


"Lalu?" Tanya saya basa-basi.


"Saya mencintai hujan. Tanpa alasan apa-apa seharusnya."


"Kenapa?" 


"Hujan menenangkan. Duh, saya jadi seperti pemuisi ya?" Dia tertawa. Renyah sekali.


"menurutmu bagaimana? Apa kau juga mencintai hujan seperti keanehan saya ini?" Lanjutnya.


"Kau penyair?" Tanya saya mengalihkan perhatiannya.


Dia menggeleng, kemudian mengangguk samar, "Entah disebut apa, tapi saya menyukai kata-kata dan saya menyukai seni musik. Juga menyukai melukis seperti almarhum ibu saya sebelum beliau dibunuh bapak."


Saya berjengit kaget. Wajahnya mendadak murung, "Ya. Seharunya seorang suami setia mencintai istrinya. Tapi kesetiaan itu hanya sebuah halusinasi yang mereka ciptakan. Tidak ada realitanya, bahkan sejak saya kecil hal yang paling sering saya lihat adalah melihat ibu menangis di depan lukisan wajah bapak." 


"Maaf," kata saya sedikit sungkan.


In hal sensitif yang tidak seharusnya saya dengar.


"Saya Bayu, namamu siapa?"


"Lail."


"Hah? Siapa?"


"Lail."


"Laily?"

Saya menggeleng, "Lail," ulang saya lebih keras. Mendengarnya, Bayu tertawa terbahak-bahak. "Kau lucu ya? Bukankah kau terlalu pendiam untuk ukuran perempuan?"


"Tidak. Kau saja yang terlalu cerewet," jawab saya terbata.


Dan malam minggu setelahnya, saya berhenti berkencan dengan kesepian karena Bayu selalu ada dengan cerita-cerita selanjutnya.


***


Seperti malam ini, lelaki yang mencintai hujan lebih dari dirinya sendiri itu sedang mengelus kepala saya pelan. Kami telah berbulan-bulan menjadi teman. Saya menyiapkan kedua telinga untuk mendengarnya bercerita, entah mengenai apa saja saya tetap betah. Meskipun Bayu berisik, saya menyukai antonim dari sikap saya yang tidak pernah mampu menciptakan suasana selain sepi.


"Kau bertanya menganai rasa sakit. Tapi kau tak mau tahu alasan kenapa hari ini lebam lagi?"


Mata saya berkaca-kaca. Saya ingin menangis dan mengatakan bahwa betapa khawatirnya ketika menunggunya berjam-jam tanpa kabar. Ketika dia datang dengan wajah babak belur, siapa yang tidak akan khawatir dengannya?


"Saya bertengkar lagi dengan kakak tertua."


"Kenapa selalu begitu?"


"Kau tahu, dulu saya pernah mengatakan mencintai hujan?"


Saya mengangguk dan menunggu hal-hal yang selalu membuat penasaran.


"Yang mengenalkan saya dengan hujan ialah Rania."


Dada saya berhenti berdegub, saya menahan napas mendengar satu nama perempuan yang ia sebut di perbincangan ini.


"Rania gadis ceria yang lembut, ia seperti ibu saya yang pandai melukis. Kami sama-sama dipertemukan dalam pameran seni, dan selanjutnya seperti takdir kami dipertemukan kembali. Berulang-ulang, sampai saya mencintainya melebihi apapun."


Mendengarnya, telinga saya mendadak ingin berhenti dari fungsinya. Saya tidak menyukai apa yang ia ceritakan. Saya lebih memilih dia bercerita mengenai rutinitas hariannya, kelas melukis, kerjaan sampingan yang menguras tenaga, serta kisah di mana bapaknya menghajar karena Bayu tidak mau menjadi apa yang bapaknya mau.


"Kami sama-sama suka menikmati hujan, sambil bercerita banyak hal, kecuali tentang perasaan. Karena saya tahu, Rania telah memiliki kekasih yang ia puja dalam kedua matanya. Dengan begitu, saya cukup mencintai hujan seperti dia menyukainya ketika bersama saya."


Saya bungkam. Saya ingin berlari dan berhenti menghabiskan malam minggu paling menyesakkan. Ini lebih pedih daripada kesepian yang menghukum saya berkali-kali.


"Kau tahu? Ternyata kakak lelaki saya adalah kekasih Rania," katanya sambil tertawa masam.


"Dia berkali-kali meminta saya berhenti mendekati Rania. Tapi saya tidak pernah bisa. Dan berakhirlah kami dua pria kurang otak yang saling beradu otot."


Akhirnya tangis saya pecah. 


"Hei, saya tidak apa-apa. Ini tidak sakit. Coba kau tekan, pasti saya tidak akan menjerit," katanya sembari menuntun kedua tangan saya ke pipinya. Saya meraba bagian mata lebamnya, pipinya, dagunya. Dan saya menangis tanpa bisa diredakan.


Saya tidak menangisi rasa sakitnya. Tidak! Saya hanya menangisi diri sendiri yang begitu bodoh selalu menunggunya di sini. Menyediakan rumah tempanya singgah, sedang dalam hatinya saya tidak pernah mempunyai tempat. Tidak sama sekali.


***

#Risscoklat

Temanggung, 15 September 2019