![]() |
@Geulgram |
Aku membenci hari Senin itu, Monday yang kekanak-kanakkan atau menjelaskan Monster Day? Begitulah nasib ketika berangkat kesiangan. Jam tujuh kurang sepuluh menit baru sampai di sekolah. Dan sampai kelas, aku akan mendapatkan tempat duduk dengan lelaki di deretan para lelaki juga.
Saat diskusi bahasa Indonesia, karena hanya aku perempuan di sana maka terpaksa mendengar apa yang tak seharusnya kudengar. Ini harusnya percakapan lelaki saja, seperti ketika para perempuan berkumpul berkeluh tentang menstruasi. Kenapa aku harus mendengarnya juga? Karena telinga tajam dan diriku dikelilingi banyak lelaki menyebalkan. Sebut saja namanya Fredi, pria yang cakap di kelas. Cerdas dalam berbagai hal. Peringkat satu sering diborongnya. Ia mulai berbagi kisah dengan kekawannya, sedang aku masih sibuk membaca teks deduktif.
“Paling benci itu hari Senin!”
Aku menatapnya bertanya. Ia tak memedulikanku dan kembali ke percakapan antar lelaki.
“Kau tahu? Bisa jadi kalau hari Senin aku pernah mengalami mimpi basah dua kali. Dan paginya harus sahur untuk puasa sunnah. Kan dingin-dingin gitu harus mandi basah-basah.”
Rey yang di sampingku terbahak. Aku hampir mau melotot dan menjerit mendengar kata-kata dari Fredi. Apa? Kenapa dia bisa santai bercerita di hadapanku? Aku saja sudah bergidik ngeri.
“Gila kamu! Mimpi basah diumbar. Hari ini, untung aku tidak,”ucapan Rey terdengar diselingi tawanya yang masih kentara. Tak cukup juga, ia kemudian menatapku dengan jenaka.
“Apa?”tanyaku kembali menyibukkan dengan teks di tanganku berharap tidak mendengar percakapan mereka.
“Haha, mimpi basah pas malam sekolah mah tidak enak.”
Telingaku rasanya ingin kusumpal dengan apa pun. Mereka masih juga melanjutkan pembahasan yang tak perlu kuketahui lebih lanjut.
“Anehnya gini ya, kalau dalam mimpi basah rasanya semua nyata! Asli nyata banget!” Muchtar mengungkapkannya dengan ekspresi yang menjijikkan.
“Kalian bisa berhenti membahas mimpi basahnya itu?”cicitku pelan. Mengedihkan bahu, Fredi menatap guru yang di depan. Lalu menatapku dengan senyum usil.
“Halah, ini kan bagi-bagi pengalaman! Seperti ketika perempuan bercerita tentang menstruasi. Sesama teman itu sedikit terbuka, biar tahu.”
Gundulmu!!! Aku ingin mengumpatnya, tapi tertunda dengan mereka yang kembali menenggelamkan dalam diskusi tugas dengan serius. Selesai mengerjakan, aku menatap sekeliling yang masih ramai beradu argumen. Enaknya gini, ada yang pintar. Jadi semua serasa terorganisir. Mudah diselesaikan tanpa debat yang menjengkelkan.
“Kamu tahu tidak titik lemah perempuan di mana?”Fredi mulai bertanya denganku. Aku menggeleng lemah, Rey dan Muchtar menatapku dengan cengiran lagi.
“Telinga dan dada kiri,”tukas Rey dengan senyum mengejek.
“Sok tahu!”ucapku jengkel. Kenapa mereka tidak berhenti membahas hal beginian sih?
“Iya, benar kata si Rey. Makanya, remaja yang baik itu baca berbagai tulisan yang bermafaat. Tidak mikirin novel cinta saja!”Muchtar ikut-ikutan meledekku. Kali ini kenapa lelaki benar sekali kalau menyebalkan? Ia dengan bebas membicarakan yang dimau tanpa memedulikan lingkungan sekitar. Euuuw.
“Aku sudah baca, dan katanya itu fakta. Makanya, kalau perempuan itu harus hati- hati!”Fredi menatapku. Tangannya memainkan pensil yang sudah hampir kerdil.
“Gini ya, kalau misalnya tuh dada. Eh apa ya? Gini, kesenggol tangan lelaki siapa yang salah?”
Aku menatap Fredi sengit. Ngapain bocah tengik itu tanya-tanya segala.
“Kamu yang salah! Nanya-nanya tidak jelas!”jawabku penuh penekanan.
“Yaa semuanya yang salah dong! Itu artinya sebagai peringatan kalau lelaki dan perempuan itu jangan dekat-dekat kalau tidak mau hal yang tidak diinginkan terjadi tanpa sengaja. Kita udah besar, kalau berteman kan juga harus kasih jarak. Biar tidak seenak jidat, ntar keblablasan. Dan juga misal kesenggol atau kesentuh siapa yang rugi?”
“Perempuanlah, merasa dinodai. Si laki mah bawaannya bilang rezeki,”timpal Muchtar menanggapi pertanyaan Fredi barusan.
“Si laki juga dong rugi. Tangannya udah menodai, ya kotor!”
Rey terbahak lagi mendengar pembelaanku barusan. Enak saja perempuan saja yang dirugiin, laki kan juga rugi.
“Eeeh, biasanya yang nanggung malu kan perempuan. Siapa juga harus minta maaf kalau itu kesalahan coba?”
“Ya lelaki!”
“Riss, gini ya. Lelaki bisa jadi tidak perlu bilang maaf, mungkin makasih yang akan terlontar.” Mendengar pendapat Fredi, aku hampir saja terjengkang. Langsung kubereskan kertas dan buku yang berserakkan di atas meja Muchtar, aku bersiap membalikkan tubuh menghadap meja milikku. Hampir.
“Namanya juga kesalahan!”
Aku menatap mereka bertiga dengan pandangan marah, bukan karena kalah dalam argumen. Bukan, hanya marah karena membiarkan mereka berbicara tentang hal yang seharusnya tak kubicarakan. Apalagi percakapan pertama, sialan sekali.
“Haha, itu peringatan Riss. Jangan terlalu dekat dengan lelaki. Intinya gitu! Kita berteman harus saling memperinatkan. Dekat sih boleh, asal nggak nempel mulu. Teman yang akrab antar lelaki dan perempuan? Oke, asal jaga harga diri harga hati,” ungkap Fredi mengedipkan matanya satu kali, lalu tertawa. Disusul Rey dan Muchtar yang juga sedang beres-beres peralatan tulis. Aku lalu menenggelamkan diri di atas meja. Mulai berpikir sebentar. Sepertinya ada benarnya ya? Kesalahan bisa jadi karena diri sendiri. Makanya, sebelum terjadi harus diwaspadai. Akrab boleh, tapi dengan lelaki jangan terlalu dekat. Itu bisa membuat dirimu terluka nantinya. Kena pertengkaran karena tak sengaja, atau ternodai karena tak sengaja pula. Dekat bukan berarti harus pada satu tempat, kan? Akrab jangan sampai kebablasan, kan? Yayaya. Semua tetap butuh mawas diri. Anak SMA harusnya sudah paham, yang baik dan buruk. Bagaimana menjaga pertemanan agar tidak sampai ke hal yang negatif. Walaupun iti ketidaksengajaan.
Nyengir sebentar, rasanya aku ingin menimpuk Fredi. Geram saja!
***
29 Agustus 2016
*pemudateladanjagapergaulan*
0 Komentar