@Geulgram

Bom Waktu
Saya sudah memesan es teh, demikian dengan lelaki di depan saya yang memilih lemon tea dan dua piring kentang goreng. Satu untuk saya, tentunya. Ditambahkan roti bakar yang telah dipotong menjadi empat bagian. Ia bilang untuk mengganjal perut, ia yakin saya akan menghabiskannya. Karena pada dasarnya ia menjadi rewel soal makanan. Kadang-kadang, dengan kerutan kedua alisnya ia menilai saya. Sambil mengatakan bahwa saya perlu makan yang banyak, sesekali diimbangi dengan olahraga, dan ia menyarankan minum susu.

Saya pernah menghitung berat badan yang ideal untuk tubuh 153 cm atau sekitar 155 cm. Dan angka timbangan badan saya tidak menyampai titik ideal. Tidak apa-apa, ibu saya justru sering bilang yang penting adalah sehat. Meskipun dia juga sering mengomel soal makan saya. Yang banyak, banyak, dan banyak, katanya lagi.

"Masih perlu mendiskusikan tentang apa kita hari ini?" Dia menatap saya cemas. Ada kegelisahan di matanya, bisa jadi bukan persoalan saya yang menolak ketika membahas sesuatu yang lebih dekat, tentang perasaan misalnya. Bukan, bisa jadi ia hanya cemas mengenai hal-hal yang ada di rumah. Ketika orangtuanya jatuh sakit, dan ia menjadi lelaki yang bermata lelah. Kesedihan dan kegalauan begitu kentara di wajahnya.

Ia sering bercerita mengenai pilihannya mengapa pulang ke kos, menghindari laju pulang ke rumah yang membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Alasan yang umum sih, perkara lelah dan lama di perjalanan. Tubuh juga perlu beristirahat. Dan lain-lain.

Sampai seorang perempuan berwajal oval mendekati meja, senyumnya mengembang ketika mata kami bertautan.

"Riss ya?" Tanyanya hati-hati.
Saya mengangguk lembut mengimbangi sikap anggunnya yang membuat iri. Dia namanya Meilia, lahir di bulan Mei entah tahun berapa. Kulitnya sawo matang, serta wajah cantiknya terdukung oleh mata bulat dan pipi tembamnya.
Kami basa-basi membahas kabar, berbagi kisah sebentar soal mengapa saya pergi ke sini dan sampai kami bertemu.

"Aku keluar dulu, mau ambil rokok di motor," sela teman saya sambil beranjak ke luar menuju parkiran.

"Dia siapa? Wah, jadi kamu udah sampai tahap membiarkan masa lalu pergi?"
"Masa lalu yang gimana?" Saya sedikit curiga dengan pertanyaan Meilia. Kenapa dia menanyakan ini? Apa hubungannya dengan kami, maksud saya kami tidak pernah membahas apapun soal masa lalu dia ataupun masa lalu saya sendiri.

"Waktu itu juga hujan. Kenapa kamu memutuskan?" Desaknya membuat saya terkejut.

Jadi dia bertanya mengenai seseorang yang telah jauh dari jangkauan? Saya ingin mengamati ekspresi wajahnya, kenapa dia dengan mendadak mengeluarkan bom waktu yang meledak saat ini. Membuat segalanya buyar.

Barangkali, Meilia paham dengan raut muka saya yang terlihat lebih menyebalkan, ia melihat saya ragu dan meminta maaf pelan, "Eh nggakpapasih kalau nggak mau cerita, cuma ya sedikit penasaran aja," katanya.

Ah ya. Saya justru langsung terbanting ke masa lalu. Tentang seseorang untuk saling berbagi perasaan, memberi ruang untuk bercerita dari kegiatan remeh temeh sampai dengan impian masa depan. Seseorang itu, terasa begitu dekat bagi saya. Kami telah melewati banyak hal tentunya. Dan saya yang kekanak-kanakan ini mampu ditaklukkan olehnya. Dia baik, sabar, dan tenang. Saya yakin dari hal yang telah terjadi, meskipun saya rasa dia mampu menjadi sosok yang cengeng di hadapan saya. Dia boleh menangis kok, saya tidak melarangnya. Lelaki berhak melakukannya kan?

Saya kembali menatap Meilia canggung, sedang teman saya sepertinya masih mencari rokok entah di mana. Saya ingin marah, tidak kepada perempuan yang telah duduk di kursi dekat saya. Tidak.
Saya ingin marah kepada diri sendiri yang belum mampu melihat sorot perempuan itu sewaktu menanyakan alasan-alasan masuk akal tentang masa lalu. Peristiwa yang telah saya akhiri berbulan lalu.

"Aku cuma nanya. Ya nggakpapa kalau nggak dijawab," kata Meilia.

Wah. Kenapa saya harus membicarakan ini? Ah iya, dia mengakui kalau punya penasaran yang tinggi. Kadang-kadang perempuan memang begitu ingin tahu sampai lupa siapa yang dihadapinya.

Maksud saya begini, kami berdua tidak pernah membicarakan urusan pribadi. Boleh dong saya menjadi salah paham mengenai tujuannya kan?

"Dia cerita apa aja, Mei?"

"Aku yang nanya, kukira kalian masih sama-sama. Tapi kok agak canggung. Dan kamu udah keluar seperti ini dengan yang tadi siapa? Yang ngambil rokok itun Jadi aku tanya, aku boleh tau alasannya?"

Tidak. Ia tidak berhak tahu alasannya.

"katanya kamu yang pergi dari dia, tanpa alasan," lanjutnya dengan mimik muka memelas.

Saya menarik napas perlahan, dan mengeluarkannya sambil memasang senyum yang semoga tidak terlihat masam. Saya harap, senyum ini lebih terlihat manusiawi di muka saya.

"Ya kalau dia udah bilang tanpa alasan ya clear kan. Aku nggak bakal membela diri," jawab saya dengan kekehan kecil.
"aku nggak akan membela diri kan? Biar aku aja yang paham. Kamu nggak usah ya?" Lanjut saya dengan sedikit bercanda.

Kalau dia paham, seharusnya pembicaraan ini selesai. Kalau saja dia memahami itu. Biarkan saya yang mempunyai alasan kuat untuk kenangan yang tersingkap. Dia tidak perlu memahami kan? Toh buat apa?

Memuaskan rasa penasaran?

Baik.

Baiklah.

Saya yang terlalu sentimentil untuk urusan ini. Sudah saatnya berhenti bersifat kekanak-kanakan. Saya perlu memaklumi orang-orang ingin tahu kenapa seseorang yang seharusnya sekarang berada di radar saya justru telah terlepas begitu saja.

Meilia meminta maaf lagi, saya juga ingin meminta maaf. Tetapi tidak keluar dari mulut. Saya hanya merasa entahlah, percuma saya menjelaskannya kalau dia juga tidak pernah terlibat serta memahami situasi kami. Bahkan seseorang itu merasa saya yang menyakitihya begitu tega. Woah, memang. Saya sekejam itu, tanpa kepastian dan kejelasan mengenai kenapa saya pergi begitu saja. Duh, saya rasa ini mulai tidak baik-baik saja.

"Dari mana saja? Kenapa lama?" Pertanyaan saya sedikit kesal ketika mendapati lelaki yang tadi pamit mau mengambil rokok kini telah duduk santai sambil menyerutup minumannya.

Dia nyengir, "Tadi kutinggal di luar, kalian kelihatan sedang membicarakan hal serius."

Meilia tersenyum canggung, ia kemudian pamit pergi keluar. Meninggalkan saya yang mengambang tak karuan. Serasa ada godaan untuk membuka lembaran yang carut-marut dan ruwet tanpa mau saya lepaskan.

"Dia ngapain kamu?"

Saya menggeleng berharap ia paham untuk hari ini, saya akhirnya begitu tak berdaya. Serangan-serangan itu membuat saya merasa telah melakukan kesalahan besar. Padahal tidak kan?

"Ya sudah, kita makan saja," pintanya lebih lembut. Dia menyodorkan sepotong roti yang terlihat sedikit gosong. Sampai timbul pertanyaan sebelum saya mencicipinya, "Kira-kira keasinan tidak ya?"

Saya jadi nyengir sendiri 😂😂😂

--- R i s s c o k l a t
Tmg, 16 Juni 2019